Etika bisnis
Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis
merupakan aplikasi pemahamankita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam
institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha yang kita sebut bisnis.
Pembahasan tentang etika bisnisharus dimulai dengan menyediakan rerangka
prinsip-prinsip dasar pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan istilah baik
dan benar, hanya dengan cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas
implikasi-implikasi terhadap dunia bisnis.etika dan bisnis, mendeskripsikan
etika bisnis secar umum dan menjelaskan orientasi umumterhadap bisnis, dan
mendeskripsikan beberapa pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang secara
bersama-sama menyediakan dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis dalam
bisnis.
Hubungan etika dengan budaya
Etika merupakan bagian dari kompleksitas unsur-unsur
kebudayaan. Ada banyak unsur kebudayaan lain. Norma, sistem nilai, pandangan
dunia, filsafat, kesenian, ilmu pengetahuan, ekonomi, cita rasa, tingkah laku,
sikap, tradisi dan kebiasaan-kebiasaan setempat, dan juga agama, dapat dianggap
contoh-contoh yang dapat memperjelas persolaan kebudayaan.etika dan kebudayaan
itu tidak dapat kisah pisahkan. Kedua nya saling melekat dan saling melengkapi
satu dengan yang lainnya. Karena ketika suatu komunitas itu menciptakan batasan
dan aturan-aturan dalam etika tentu lah berdasarkan dari kebiasaan dan juga
hukum yang berlaku di tempat tersebut. Karena terkadang suatu etika itu tidak
lah berlaku sepanjang masa, tekadang terjadi pelapukan dan pemudaran
nilai-nilai etika. Nah, untuk membentuk ataupun membuat batasan-batasan
etika yang baru diperlukanlah kebudayaan karena kebudayaan itu merupakan
kebiasaaan-kebiasaan yang berlaku pada suatu komunitas tertentu. Nah disinilah
keterkaitan kebudayaan.karena ukuran etis, patut dan tidak patut, layak dan
tidak layak, nista atau mulia, memalukan atau tidak perlu dianggap malu,
semuanya merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan. Dan itu semua merupakan
syarat untuk menciptakan etika
Dalam disiplin antropologi disadari bahwa manusia,
setiap saat pada dasarnya disibukkan oleh urusan menciptakan etika, norma,
tradisi, maupun pandangan dunia. Dengan ringkas dapat dikatakan, kita selalu
sibuk menciptakan kebudayaan, karena suatu corak kebudyaan tertentu—di dalamnya
ada etika tadi—sering mengalami proses pelapukan, memudar, tak lagi akomodatif,
dan tertinggal dari perkembangan zaman yang terus berputar dan berubah secara
sangat cepat. Kita membutuhkan sikap, cara pandang, perilaku, nilai-nilai,
etika, norma dan tradisi yang lebih baru, yang dapat memberi kita rasa nyaman
dalam merespon perkembangan zaman tadi. Dengan kata lain kita membutuhkan
kebudayaan—sekaligus dengan unsur etikanya tadi—untuk bisa menjaga kelangsungan
hidup di tengah perputaran dan perubahan-perubahanzaman.
Maka agar kebutuhan itu terpenuhi kita harus kreatif mencipta. Mungkin mencipta etika, hanya sebagian, mungkin mencipta kebudayaan secara keseluruhan.sudah dijelaskan sebelumnya bahwa etika—apa yang etis dan tidak etis, pantas dan tidak pantas, atau sopan atau tidak sopan, sering tak terpisah, overlap, dengan norma hukum. Di sini berarti, bila kita menciptakan etika, sekaligus kita menciptakan hukum. Bagi manusia yang “berbudaya”, yang menjaga tata aturan hidup dari urusan sopan dantidak sopan, layak dan tidak layak, maka perkara malu dan tidak malu, pantas dan tidak pantas, nista atau mulia, merupakan perkara penting dan sensitif, dan dijaga dengan baik agar segenap tingkah lakunya tak tercemar dari sudut etika tadi. Maka dari itu, jelaslah bahwa manusia itu membutuhkan kebudayaan dan juga aturan–aturan etika agar bisa mengikuti perkembangan zaman.maka agar kebutuhan itu terpenuhi kita harus kreatif mencipta. Mungkin mencipta etika, hanya sebagian, mungkin mencipta kebudayaan secara keseluruhan.
Maka agar kebutuhan itu terpenuhi kita harus kreatif mencipta. Mungkin mencipta etika, hanya sebagian, mungkin mencipta kebudayaan secara keseluruhan.sudah dijelaskan sebelumnya bahwa etika—apa yang etis dan tidak etis, pantas dan tidak pantas, atau sopan atau tidak sopan, sering tak terpisah, overlap, dengan norma hukum. Di sini berarti, bila kita menciptakan etika, sekaligus kita menciptakan hukum. Bagi manusia yang “berbudaya”, yang menjaga tata aturan hidup dari urusan sopan dantidak sopan, layak dan tidak layak, maka perkara malu dan tidak malu, pantas dan tidak pantas, nista atau mulia, merupakan perkara penting dan sensitif, dan dijaga dengan baik agar segenap tingkah lakunya tak tercemar dari sudut etika tadi. Maka dari itu, jelaslah bahwa manusia itu membutuhkan kebudayaan dan juga aturan–aturan etika agar bisa mengikuti perkembangan zaman.maka agar kebutuhan itu terpenuhi kita harus kreatif mencipta. Mungkin mencipta etika, hanya sebagian, mungkin mencipta kebudayaan secara keseluruhan.
Etika bisnis
Menurut kamus, istilah etika memiliki beragam makna
berbeda. Salah satu maknanya adalah “prinsip tingkah laku yang mengatur individu
dan kelompok”. Makna kedua menurut kamus– lebih penting– etika adalah “kajian
moralitas”. Tapi meskipun etika berkaitan dengan moralitas, namun tidak sama
persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan, baik aktivitas
penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri, sedangkan moralitas merupakan
subjek.
A. Moralitas
Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau
kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat. Pedoman moral
mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan yang kita
yakini benar atau salah secara moral, dan nilai-nilai yang kita terapkan pada
objek-objek yang kita yakini secara moral baik atau secara moral buruk. Norma
moral seperti “selalu katakan kebenaran”, “membunuh orang tak berdosa itu
salah”. Nilai-nilai moral biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang
mendeskripsikan objek-objek atau ciri-ciri objek yang bernilai, semacam
“kejujuran itu baik” dan “ketidakadilan itu buruk”. Standar moral pertama kali
terserap ketika masa kanak-kanak dari keluarga, teman, pengaruh kemasyarakatan
seperti gereja, sekolah, televisi, majalah, music dan perkumpulan. Hakekat
standar moral :
a. Standar
moral berkaitan dengan
persoalan yang kita anggap akan merugikansecara serius atau benar-benar akan menguntungkan
manusia.
b. Standar
moral tidak
dapat ditetapkan atau diubah oleh keputusan
dewan otoritatif tertentu.
c. Standar
moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk
(khususnya) kepentingan diri.
d. Standar
moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
e. Standar
moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata
tertentu.standar moral, dengan demikian, merupakan
standar yang berkaitan dengan persoalan yang kita anggap mempunyai konsekuensi
serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas, melampaui
kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak, dan yang
pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalahdan malu dan dengan emosi
dan kosa kata tertentu.
B. Etika
Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral
perorangan dan standar moral masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana
standar-standar diaplikasikan dalam kehidupan kita dan apakah standar itu masuk
akal atau tidak masuk akal – standar, yaitu apakah didukung dengan penalaran
yang bagus atau jelek. Etika merupakan penelaahan standar moral, proses
pemeriksaan standar moral orang atau masyarakat untuk menentukan apakah standar
tersebut masuk akal atau tidak untuk diterapkan dalam situasi dan permasalahan
konkrit. Tujuan akhir standar moral adalah mengembangkan bangunan standar moral
yang kita rasa masuk akal untuk dianut. Etika merupakan studi standar moral yang
tujuan eksplisitnya adalah menentukan standar yang benar atau yang didukung
oleh penalaran yang baik, dan dengan demikian etika mencoba mencapai kesimpulan
tentang moral yang benar benar dan salah, dan moral yang baik dan jahat.
C. Etika bisnis
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai
moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral
sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Etika
bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke
dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi
dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada
di dalam organisasi.
D. Penerapan etika pada organisasi perusahaan
Dapatkan pengertian moral seperti tanggung jawab,
perbuatan yang salah dan kewajiban diterapkan terhadap kelompok seperti
perusahaan, ataukah pada orang (individu) sebagai perilaku moral yang nyata?
Ada dua pandangan yang muncul atas masalah ini :
1. Ekstrem
pertama, adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan yang mengikat,
organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan bertindak
seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa yang mereka
lakukan, kita dapat mengatakan mereka bertanggung jawab secara moral untuk
tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka adalah bermoral atau tidak bermoral
dalam pengertian yang sama yang dilakukan manusia
2. Ekstrem
kedua, adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa
tidak masuk akal berpikir bahwa
organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab karena ia gagal mengikuti
standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral.
Organisasi bisnis sama seperti mesin yang anggotanya harus secara membabi buta
mentaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya,
lebih tidak masuk akal untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara
moral karena ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi
seperti mesin yang gagal bertindak secara moral. Karena itu, tindakan perusahaan
berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia, indivdu-individulah yang
harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral dan tanggung jawab moral
: individu manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan perusahaan karena
tindakan perusahaan secara keseluruhan mengalir daripilihan dan perilaku
mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh
pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika
perusahaan bertindak secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu
dalam perusahaan bertindak secara bermoral.
E. Globalisasi, Perusahaan Multinasional dan Etika Bisnis
Globalisasi adalah proses yang meliputi seluruh dunia
dan menyebabkan system ekonomi serta sosial negara-negara menjadi terhubung
bersama, termasuk didalamnya barangbarang, jasa, modal, pengetahuan, dan
peninggalan budaya yang diperdagangkan dan saling berpindah dari satu negara ke
negara lain. Proses ini mempunyai beberapa komponen, termasuk didalamnya
penurunan rintangan perdagangan dan munculnya pasar terbuka dunia, kreasi komunikasi
global dan system transportasi sepertiinternet dan pelayaran global,
perkembangan organisasi perdagangan dunia (WTO), bank dunia, IMF, dan lain
sebagainya. Perusahaan multinasional adalah inti dari proses globalisasi dan
bertanggung jawab dalam transaksi internasional yang terjadi dewasa ini.
Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang bergerak di bidang yang
menghasilkan pemasaran, jasa atau operasi administrasi di beberapa negara. Perusahaan
multinasional adalah perusahaan yang melakukan kegiatan produksi, pemasaran,
jasa dan beroperasi di banyak negara yang berbeda.karena perusahaan
multinasional ini beroperasi di banyak negara dengan ragam budaya dan standar
yang berbeda, banyak klaim yang menyatakan bahwa beberapa perusahaan melanggar
norma dan standar yang seharusnya tidak mereka lakukan.
F. Etika Bisnis dan Perbedaan Budaya
Relativisme etis adalah teori bahwa, karena masyarakat
yang berbeda memiliki keyakinan etis yang berbeda. Apakah tindakan secara moral
benar atau salah, tergantung kepada pandangan masyarakat itu. Dengan kata lain,
relativisme moral adalah pandangan bahwa tidak ada standar etis yang secara
absolute benar dan yang diterapkan atau harus diterapkan terhadap perusahaan
atau orang dari semua masyarakat.
Dalam penalaran moral seseorang, dia harus selalu
mengikuti standar moral yang berlaku dalam masyarakat manapun dimana dia
berada.pandangan lain dari kritikus relativisme etis yang berpendapat, bahwa
ada standar moral tertentu yang harus diterima oleh anggota masyarakat manapun
jika masyarakat itu akan terus berlangsung dan jika anggotanya ingin
berinteraksi secara efektif.
Relativisme etis mengingatkan kita bahwa masyarakat
yang berbeda memiliki keyakinan moral yang berbeda, dan kita hendaknya tidak
secara sederhana mengabaikan keyakinan moral kebudayaan lain ketika mereka
tidak sesuai dengan standar moral kita. Teknologi dan etika bisnisteknologi
yang berkembang di akhir dekade abad ke-20 mentransformasi masyarakat dan
bisnis, dan menciptakan potensi problem etis baru. Yang paling mencolok adalah
revolusi dalam bioteknologi dan teknologi informasi. Teknologi menyebabkan
beberapa perubahan radikal, seperti globalisasi yang berkembang pesat dan
hilangnya jarak, kemampuan menemukan bentuk-bentuk kehidupan baru yang
keuntungan dan resikonya tidak terprediksi. Dengan perubahan cepat ini,
organisasi bisnis berhadapan dengan setumpuk persoalan etis baru yang menarik.
1.2 Perkembangan Moral dan Penalaran Moral.
Perkembangan moral riset psikologi menunjukkan bahwa,
perkembangan moral seseorang dapat berubah ketika dewasa. Saat anak-anak, kita
secara jujur mengatakan apa yang benar dan apayang salah, dan patuh untuk
menghindari hukuman. Ketika tumbuh menjadi remaja,standar moral konvensional
secara bertahap diinternalisasikan. Standar moral pada tahap ini didasarkan
pada pemenuhan harapan keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Hanya sebagian
manusia dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan merefleksikan
secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan keluarga, teman,
budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak memihak dan yang lebih
memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara memadai menyeimbangkan
perhatian terhadap orang lain dengan perhatian terhadap diri sendiri.
Menurut ahli psikologi, lawrence kohlberg, dengan
risetnya selama 20 tahun, menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3
level, masing-masing 2 tahap) yang teridentifikasi dalam perkembangan moral
seseorang untuk berhadapan dengan isu-isu moral. Tahapannya adalah sebagai berikut
:
1) level satu : tahap prakonvensional pada tahap
pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi sosialdan dapat
menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.
Tahap satu : orientasi hukuman dan ketaatanpada tahap
ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan atau
keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik adalahuntuk
menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.
Tahap dua : orientasi instrumen dan relativitaspada
tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument
untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang
dipedulikan anak itu.
2) level dua : tahap konvensional pada level ini, orang
tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan loyalitas terhadap
kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat melihat situasi
dari sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok sosialnya.
Tahap tiga : orientasi pada kesesuaian
interpersonalpada tahap ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan
untuk dilihatsebagai pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan
orang lain.
Tahap empat : orientasi pada hukum dan keteraturanbenar
dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh loyalitas
terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi
kecuali tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
3) level tiga : tahap postkonvensional, otonom, atau
berprinsip pada tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai
dan norma kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang
yang secara adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan
hukum dan nilaiyang diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam
pengertian prinsip moral yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara
rasional. Hukum dannilai yang pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip
yang memotivasi orang yang rasional untuk menjalankannya.
Tahap lima : orientasi pada kontrak sosialtahap ini,
seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal
yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus dengan
kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilaidan norma
bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi
toleransi.
Tahap enam : orientasi pada prinsip etika yang
universaltahap akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian
prinsip moral yang dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan
konsistensi. Alasan seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan pada
komitmen terhadap prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai
criteria untuk mengevaluasisemua aturan dan tatanan moral yang lain.
Teori kohlberg membantu kita memahami bagaimana
kapasitas moral kita berkembang dan memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih
berpengalaman dan kritis dalam menggunakan dan memahami standar moral yang kita
punyai. Namun tidak semua orang mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti
pada tahap awal sepanjang hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap
prakonvensional, benar atau salah terus menerus didefinisikan dalam pengertian
egosentris untuk menghindari hukuman dan melakukan apa yang dikatakan oleh
figur otoritas yang berkuasa. Bagi mereka yang mencapai tahap konvensional,
tetapi tidak pernah maju lagi, benar atau salah selalu didefinisikan dalam
pengertian norma-norma kelompok sosial mereka atau hukum negara atau masyarakat
mereka.
Namun demikian, bagi yang mencapai level postkonvensional dan mengambil pandangan yang reflektif dan kritis terhadap standar moral yang mereka yakini, benar dan salah secara moral didefinisikan dalampengertian prinsip-prinsip moral yang mereka pilih bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.
Namun demikian, bagi yang mencapai level postkonvensional dan mengambil pandangan yang reflektif dan kritis terhadap standar moral yang mereka yakini, benar dan salah secara moral didefinisikan dalampengertian prinsip-prinsip moral yang mereka pilih bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.
b. Penalaran Moral
Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi, atau kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral.
Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi, atau kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral.
Penalaran moral selalu melibatkan dua komponen mendasar
:
1. Pemahaman tentang yang dituntut,
dilarang, dinilai atau disalahkan olehstandar moral yang masuk akal. Bukti atau informasi yang menunjukkan
bahwa orang, kebijakan, institusi,atau prilaku tertentu
mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang, menilai, atau
menyalahkan.
2. Menganalisis penalaran moralada beberapa criteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan penalaran moral, yaitu : penalaran moral harus logis. Bukti factual yang dikutip untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan dan lengkap. Standar moral yang melibatkan penalaran moral seseorang harus konsisten.
2. Menganalisis penalaran moralada beberapa criteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan penalaran moral, yaitu : penalaran moral harus logis. Bukti factual yang dikutip untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan dan lengkap. Standar moral yang melibatkan penalaran moral seseorang harus konsisten.
1.3 Argumen yang Mendukung dan yang Menentang Etika Bisnis
Banyak yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam aktivitas bisnis. Bagian ini membahas keberatan-keberatan tersebut dan melihat apa yang dapat dikatakan berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan etika ke dalam bisnis.
Tiga keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis : orang yang terlibat dalam bisnis, kata mereka hendaknya berfokus pada pencarian keuntungan finansial bisnis mereka dan tidak membuang-buang energi mereka atau sumber daya perusahaan untuk melakukan ”pekerjaan baik”. Tiga argumen diajukan untuk mendukung perusahaan ini :
Banyak yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam aktivitas bisnis. Bagian ini membahas keberatan-keberatan tersebut dan melihat apa yang dapat dikatakan berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan etika ke dalam bisnis.
Tiga keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis : orang yang terlibat dalam bisnis, kata mereka hendaknya berfokus pada pencarian keuntungan finansial bisnis mereka dan tidak membuang-buang energi mereka atau sumber daya perusahaan untuk melakukan ”pekerjaan baik”. Tiga argumen diajukan untuk mendukung perusahaan ini :
pertama, beberapa berpendapat bahwa di pasar bebas
kompetitif sempurna, pencarian keuntungan dengan sendirinya menekankan bahwa
anggota masyarakat berfungsi dengan cara-cara yang paling menguntungkan secara
sosial. Agar beruntung, masing-masing perusahaan harus memproduksi hanya apa
yang diinginkan oleh anggota masyarakat dan harus melakukannya dengan cara yang
paling efisien yang tersedia. Anggota masyarakat akan sangat beruntung jika
manajer tidak memaksakan nilai-nilai pada bisnis, namun mengabdikan dirinya
pada pencarian keuntungan yang berfokus. Argumen tersebut menyembunyikan
sejumlah asumsi yaitu : pertama, sebagian besarindustri tidak ”kompetitif
secara sempurna”, dan sejauh sejauh perusahaan tidak harus berkompetisi, mereka
dapat memaksimumkan keuntungan sekalipun produksi tidak efisien.
Kedua, argumen itu mengasumsikan bahwa langkah manapun yang diambil untuk meningkatkan keuntungan, perlu menguntungkan secara sosial, sekalipun dalam kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan keuntungan yang sebenarnya merugikan perusahaan : membiarkan polusi, iklan meniru, menyembunyikan cacat produksi, penyuapan. Menghindari pajak, dsb.
Ketiga, argumen itu mengasumsikan bahwa dengan memproduksi apapun yang diinginkan publik pembeli, perusahaan memproduksi apa yang diinginkan oleh seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataan keinginan sebagian besar anggota masyarakat (yang miskin dan dan tidak diuntungkan) tidak perlu dipenuhi karena mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar.
Keempat, argumen itu secara esensial membuat penilaian normatif.kedua, kadang diajukan untuk menunjukan bahwa manajer bisnis hendaknya berfokusmengejar keuntungan perusahaan mereka dan mengabaikan pertimbangan etis, yang oleh ale c. Michales disebut ”argumen dari agen yang loyal”. Argumen tersebut secara sederhana adalah sbb: sebagai agen yang loyal dari majikannya manajer mempunyai kewajiban untuk melayani majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki keakhlian agen). Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya sendiri. Dengan demikian sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyaikewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya.argumen agen yang loyal adalah keliru, karena ”dalam menentukan apakah perintah klien kepada agen masuk akal atau tidak. Etika bisnis atau profesional harus mempertimbangkan” dan ”dalam peristiwa apapun dinyatakan bahwa agen mempunyai kewajibanuntuk tidak melaksanakan tindakan yang ilegal atau tidak etis”.
Kedua, argumen itu mengasumsikan bahwa langkah manapun yang diambil untuk meningkatkan keuntungan, perlu menguntungkan secara sosial, sekalipun dalam kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan keuntungan yang sebenarnya merugikan perusahaan : membiarkan polusi, iklan meniru, menyembunyikan cacat produksi, penyuapan. Menghindari pajak, dsb.
Ketiga, argumen itu mengasumsikan bahwa dengan memproduksi apapun yang diinginkan publik pembeli, perusahaan memproduksi apa yang diinginkan oleh seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataan keinginan sebagian besar anggota masyarakat (yang miskin dan dan tidak diuntungkan) tidak perlu dipenuhi karena mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar.
Keempat, argumen itu secara esensial membuat penilaian normatif.kedua, kadang diajukan untuk menunjukan bahwa manajer bisnis hendaknya berfokusmengejar keuntungan perusahaan mereka dan mengabaikan pertimbangan etis, yang oleh ale c. Michales disebut ”argumen dari agen yang loyal”. Argumen tersebut secara sederhana adalah sbb: sebagai agen yang loyal dari majikannya manajer mempunyai kewajiban untuk melayani majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki keakhlian agen). Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya sendiri. Dengan demikian sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyaikewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya.argumen agen yang loyal adalah keliru, karena ”dalam menentukan apakah perintah klien kepada agen masuk akal atau tidak. Etika bisnis atau profesional harus mempertimbangkan” dan ”dalam peristiwa apapun dinyatakan bahwa agen mempunyai kewajibanuntuk tidak melaksanakan tindakan yang ilegal atau tidak etis”.
Dengan demikian, kewajiban manajer untuk mengabdi
kepada majikannya, dibatasi oleh batasan-batasan moralitas. Untuk
menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum: etika
bisnis pada dasarnya adalah mentaati hukum. Terkadang kita salah memandang hukum
dan etika terlihat identik. Benar bahwa hukum tertentu menuntut perilaku yang
sama yang juga dituntut standar moral kita. Namun demikian, hukum dan moral
tidak selalu serupa. Beberapa hukum tidak punya kaitan dengan moralitas, bahkan
hukum melanggar standar moral sehingga bertentangan dengan moralitas, seperti
hukum perbudakan yang memperbolehkan kita memperlakukan budak sebagai properti.
Jelas bahwa etika tidak begitu saja mengikuti hukum.namun tidak berarti etika
tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar moral kita kadang dimasukan ke
dalam hukum ketika kebanyakan dari kita merasa bahwa standar moral harus
ditegakkan dengan kekuatan sistem hukum sebaliknya, hukum dikritik dan
dihapuskan ketika jelas-jelas melanggar standar moral.kasus etika dalam
bisnis etika seharusnya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika
mengatursemua aktivitas manusia yang disengaja, dan karena bisnis merupakan
aktitivitas manusia yang disengaja, etika hendaknya juga berperan dalam bisnis.
Argumen lain berpandangan bahwa, aktivitas bisnis, seperti juga aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali orang yang terlibat dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal etika. Bisnis merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya mensyaratkan perilaku etis. Dalam masyarakat tanpa etika, seperti ditulis oleh filsuf Hobbes, ketidakpercayaan dan kepentingan diri yang tidak terbatas akan menciptakan ”perang antar manusiaterhadap manusia lain”, dan dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi ”kotor, brutal, dan dangkal”. Karenanya dalam masyarakat seperti itu, tidak mungkin dapat melakukan aktivitas bisnis, dan bisnis akan hancur. Karena bisnis tidak dapat bertahan hidup tanpa etika, maka kepentingan bisnis yang paling utama adalah mempromosikan perilaku etika kepada anggotanya dan juga masyarakat luas.Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika konsistendengan tujuan bisnis, khususnya dalam mencari keuntungan. Contoh Merck dikenal karena budaya etisnya yang sudah lama berlangsung, namun ia tetap merupakan perusahaan yang secara spektakuler mendapatkan paling banyak keuntungan sepanjang masa. Apakah ada bukti bahwa etika dalam bisnis secara sistematis berkorelasi dengan profitabilitas? Apakah Perusahaan yang etis lebih menguntungkan dapripada perusahaan lainnya? Beberapa studi menunjukan hubungan yang positif antara perilaku yang bertanggungjawab secara sosial dengan profitabilitas, beberapa tidak menemukan korelasi bahwa etika bisnis merupakan beban terhadap keuntungan. Studi lain melihat, perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial bertransaksi di pasar saham, memperoleh pengembalian yang lebih tinggi daripada perusahaan lainnya. Semua studi menunjukan bahwa secara keseluruhan etika tidak memperkecil keuntungan, dan tampak justru berkontribusi pada keuntungan. Dalam jangka panjang, untuk sebagian besar, lebih baik menjadi etis dalam bisnisdari pada tidak etis. Meskipun tidak etis dalam bisnis kadang berhasil, namun perilaku tidak etis ini dalam jangka panjang, cenderung menjadi kekalahan karenameruntuhkan hubungan koperatif yang berjangka lama dengan pelanggan, karyawan dan anggota masyarakat dimana kesuksesan disnis sangat bergantung. Akhirnya kita harus mengetahui ada banyak bukti bahwa sebagian besar orang akanmenilai perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku tidak etis, dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis.Pelanggan akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang dilakukan perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka untuk membeli produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan menunjukan absentisme lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan tuntutan upah lebih tinggi. Sebaliknya, ketika karyawan percaya bahwa organisasi adil, akan senang mengikuti manajer. Melakukan apapun yang dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah.
Ringkasnya, etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif. Dengan demikian, ada sejumlah argumen yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.
Argumen lain berpandangan bahwa, aktivitas bisnis, seperti juga aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali orang yang terlibat dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal etika. Bisnis merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya mensyaratkan perilaku etis. Dalam masyarakat tanpa etika, seperti ditulis oleh filsuf Hobbes, ketidakpercayaan dan kepentingan diri yang tidak terbatas akan menciptakan ”perang antar manusiaterhadap manusia lain”, dan dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi ”kotor, brutal, dan dangkal”. Karenanya dalam masyarakat seperti itu, tidak mungkin dapat melakukan aktivitas bisnis, dan bisnis akan hancur. Karena bisnis tidak dapat bertahan hidup tanpa etika, maka kepentingan bisnis yang paling utama adalah mempromosikan perilaku etika kepada anggotanya dan juga masyarakat luas.Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika konsistendengan tujuan bisnis, khususnya dalam mencari keuntungan. Contoh Merck dikenal karena budaya etisnya yang sudah lama berlangsung, namun ia tetap merupakan perusahaan yang secara spektakuler mendapatkan paling banyak keuntungan sepanjang masa. Apakah ada bukti bahwa etika dalam bisnis secara sistematis berkorelasi dengan profitabilitas? Apakah Perusahaan yang etis lebih menguntungkan dapripada perusahaan lainnya? Beberapa studi menunjukan hubungan yang positif antara perilaku yang bertanggungjawab secara sosial dengan profitabilitas, beberapa tidak menemukan korelasi bahwa etika bisnis merupakan beban terhadap keuntungan. Studi lain melihat, perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial bertransaksi di pasar saham, memperoleh pengembalian yang lebih tinggi daripada perusahaan lainnya. Semua studi menunjukan bahwa secara keseluruhan etika tidak memperkecil keuntungan, dan tampak justru berkontribusi pada keuntungan. Dalam jangka panjang, untuk sebagian besar, lebih baik menjadi etis dalam bisnisdari pada tidak etis. Meskipun tidak etis dalam bisnis kadang berhasil, namun perilaku tidak etis ini dalam jangka panjang, cenderung menjadi kekalahan karenameruntuhkan hubungan koperatif yang berjangka lama dengan pelanggan, karyawan dan anggota masyarakat dimana kesuksesan disnis sangat bergantung. Akhirnya kita harus mengetahui ada banyak bukti bahwa sebagian besar orang akanmenilai perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku tidak etis, dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis.Pelanggan akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang dilakukan perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka untuk membeli produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan menunjukan absentisme lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan tuntutan upah lebih tinggi. Sebaliknya, ketika karyawan percaya bahwa organisasi adil, akan senang mengikuti manajer. Melakukan apapun yang dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah.
Ringkasnya, etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif. Dengan demikian, ada sejumlah argumen yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.
1.4 Tanggung Jawab Dan Kewajiban Moral
Kapankah secara moral seseorang bertanggung jawab atau
disalahkan, karena melakukan kesalahan? Seseorang secara moral bertanggung
jawab atas tindakannya dan efek-efek merugikan yang telah diketahui;
a. Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan
sengaja dan secara bebas
b. Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya. Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian ;
b. Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya. Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian ;
1. Ketidaktahuan
2. Ketidakmampuan
Keduanya disebut kondisi yang memaafkan karena
sepenuhnya memaafkan orang dari tanggung jawab terhadap
sesuatu. Jika seseorang tidak mengetahui, atau tidak dapat menghindari apa yang
dia lakukan, kemudian orang itu tidak berbuat secara sadar, ia bebas dan tidak
dapat dipersalahkan atas tindakannya. Namun, ketidaktahuandan ketidakmampuan
tidak selalu memaafkan seseorang, salah satu pengecualiannya adalah ketika
seseorang mungkin secara sengaja, membiarkan dirinya tidak mau mengetahui
persoalan tertentu.Ketidakmampuan bisa jadi merupakan akibat lingkungan
internal dan eksternal yangmenyebabkan seseorang tidak dapat melakukan sesuatu
atau tidak dapat menahan melakukan sesuatu. Seseorang mungkin kekurangan
kekuasaan, keahlian, kesempatan atau sumber daya yang mencukupi untuk
bertindak. Seseorang mungkin secara fisik terhalang atau tidak dapat bertindak,
atau pikiran orang secara psikologis cacat sehingga mencegahnya mengendalikan
tindakannya. Ketidakmampuan mengurangi tanggung jawab karena seseorang tidak
mempunyai tanggung jawab untuk melakukan (atau melarang melakukan) sesuatu yang
tidak dapat dia kendalikan.
Sejauh lingkungan menyebabkan seseorang tidak dapat mengendalikan tindakannya atau mencegah kerugiantertentu, adalah keliru menyalahkan orang itu.Sebagai tambahan atas dua kondisi yang memaklumkan itu (ketidaktahuan dan ketidakmampuan), yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena kesalahan, ada juga beberapa faktor yang memperingan, yang meringankan tanggung jawab moral seseorang yang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor yang memperingan mencakup :
Sejauh lingkungan menyebabkan seseorang tidak dapat mengendalikan tindakannya atau mencegah kerugiantertentu, adalah keliru menyalahkan orang itu.Sebagai tambahan atas dua kondisi yang memaklumkan itu (ketidaktahuan dan ketidakmampuan), yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena kesalahan, ada juga beberapa faktor yang memperingan, yang meringankan tanggung jawab moral seseorang yang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor yang memperingan mencakup :
• Lingkungan yang mengakibatkan
orang tidak pasti, namun tidak juga tidak yakin tentang apa yang
sedang dia lakukan (hal tersebut mempengaruhi pengetahuan seseorang)
• Lingkungan yang menyulitkan, namun bukan tidak mungkin untuk menghindari melakukannya
(hal ini mempengaruhi kebebasan seseorang)
• Lingkungan yang mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan keterlibatan seseorang
dalam sebuah tindakan (ini mempengaruhi tingkatan sampai dimana
seseorangbenar-benar menyebabkan kerugian).
Hal tersebut dapat memperingan tanggung jawab
seseorang karena kelakuan yang keliru yang tergantung pada faktor keempat,
yaitu keseriusan kesalahan. Kesimpulan mendasar tentang tanggung jawab moral
atas kesalahan atau kerugian yang memperingan tanggung jawab moral seseorang
yaitu :
1.Secara moral individu, bertanggung
jawab atas tindakan yang salah yang dia lakukan (atau yang
secara keliru dia lalaikan) dan atas efek-efek kerugian yang disebabkan (atau
yang gagal dia cegah) ketika itu dilakukan dengan bebas dan sadar.
2.Tanggung jawab
moral sepenuhnya dihilangkan
(atau dimaafkan) oleh ketidaktahuan dan ketidakmampuan
3.Tanggung jawab moral atas kesalahan
atau kerugian diringankan oleh :
• Ketidak pastian
• Kesulitan Bobot keterlibatan yang kecil (meskipun
kegagalan tidak memperingan jika seseorang mempunyai tugas khusus untuk mencegah
kesalahan), namun cakupan sejauh mana hal-hal tersebut memperingan tanggung
jawab moral seseorang kepada (dengan) keseriusan kesalahan atau kerugian.
Semakin besar keseriusannya, semakin kecil ketigafactor pertama tadi dapat
meringankan.Para kritikus berdebat, apakah semua faktor yang meringankan itu
benar-benar mempengaruhi tanggung jawab seseorang? Beberapa berpendapat bahwa,
kejahatan tidakpernah diterima, tidak peduli tekanan apakah yang terjadi pada
seseorang. Kritikus lain berpendapat, membiarkan secara pasif suatu kesalahan
terjadi, tidak berbeda dengan secara aktif menyebabkan suatu kesalahan terjadi
A. Tanggung Jawab Perusahaan
Dalam perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan
perusahaan sering didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama.
Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang
berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama
menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi, siapakah yang bertanggung jawab atas
tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu? Pandangan tradisional berpendapat
bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan bebas apa yang diperlukan
perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab. Lain halnya pendapat
para kritikus pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa ketika sebuah
kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama,tindakan
perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan konsekuensinya
tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan kelompok
bertanggung jawab atas tindakan tersebut.Kaum tradisional membantah bahwa,
meskipun kita kadang membebankan tindakan kepada kelompok perusahaan, fakta
legal tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik semua tindakan perusahaan
itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela dan bebas dalam tindakan
bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan tindakan perusahaan,
secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu. Namun demikian, karyawan
perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan dengan bebas turut
dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan perusahaan atau untuk
mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam struktur birokrasi
organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara moral atas setiap
tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti seorang sekretaris,
jurutulis, atau tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor ketidaktahuan
danketidakmampuan yang meringankan dalam organisasi perusahaan birokrasi
berskala besar, sepenuhnya akan menghilangkan tanggung jawab moral orang itu.
B. Tanggung Jawab Bawahan
Dalam perusahaan, karyawan sering bertindak
berdasarkan perintah atasan mereka. Perusahaan biasanya memiliki struktur yang
lebih tinggi ke beragam agen pada level yang lebih rendah. Jadi, siapakah yang
harus bertanggung jawab secara moral ketika seorang atasan memerintahkan
bawahannya untuk melakukan tindakan yang mereka ketahui salah. Orang kadang
berpendapat bahwa, ketika seorang bawahan bertindak sesuai dengan perintah
atasannya yang sah, dia dibebaskan dari semua tanggung jawab atas tindakan
itu. Hanya atasan yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru,
bahkan jika bawahan adalah agen yang melakukannya. Pendapat tersebut keliru,
karena bagaimanapun tanggung jawab moral menuntut seseorang bertindak secara
bebas dansadar, dan tidak relevan bahwa tindakan seseorang yang salah merupakan
pilihan secara bebas dan sadar mengikuti perintah. Ada batas-batas kewajiban
karyawan untuk mentaati atasannya. Seorang karyawan tidak mempunyai kewajiban
untuk mentaatiperintah melakukan apapun yang tidak bermoral. Dengan demikian,
ketika seorang atasan memerintahkan seorang karyawan untuk melakukan sebuah
tindakan yang mereka ketahui salah, karyawan secara moral bertanggung jawab
atas tindakan itu jika dia melakukannya. Atasan juga bertanggung jawabsecara
moral, karena fakta atasan menggunakan bawahan untuk melaksanakan tindakan yang
salah tidak mengubah fakta bahwa atasan melakukannya.
Sumber:
https://www.scribd.com/doc/45031801/Hubungan-etika-dengan-Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar